Sabtu, 19 April 2014

tentang fidyah puasa dan sholat

FIDYAH
1.      Fidyah puasa
Ternyata tidak ada dalam nash secara khusus yang menjelaskan tentang jenis dan kadar fidyah. Namun ada beberapa pendapat ulama berkaitan tentang kadar dan jenis fidyah tersebut,
Pendapat pertama, fidyah tersebut adalah sebanyak 1 mud dari makanan untuk setiap harinya. Jenisnya sama seperti jenis makanan pada zakat fitri.
Pendapat kedua, fidyah tersebut sebagaimana yang biasa dia makan setiap harinya.
Pendapat ketiga, fidyah tersebut dapat dipilih dari makanan yang ada.
Dalam kaidah fikih, untuk permasalahan seperti ini maka dikembalikan ke urf (kebiasaan yang lazim). Maka kita dianggap telah sah membayar fidyah jika telah memberi makan kepada satu orang miskin untuk satu hari yang kita tinggalkan. Namun tetap diingat, sebagaimana Imam Nawawi rahimahullah katakan, “Tidak sah apabila membayar fidyah dengan tepung yang sangat halus (sawiq), biji-bijian yang telah rusak. Tidak sah pula membayar fidyah dengan uang.”
Cara Pembayaran:
Inti pembayaran fidyah adalah mengganti satu hari puasa yang ditinggalkan dengan memberi makan satu orang miskin. Namun, model pembayarannya dapat diterapkan dengan dua cara,
  1. Memasak atau membuat makanan, kemudian memanggil orang miskin sejumlah hari-hari yang ditinggalkan selama bulan Ramadhan.
  2. Memberikan kepada orang miskin berupa makanan yang belum dimasak. Alangkah lebih sempurna lagi jika juga diberikan sesuatu untuk dijadikan lauk.
Pemberian ini dapat dilakukan sekaligus, misalnya membayar fidyah untuk 20 hari disalurkan kepada 20 orang faqir. Atau dapat pula diberikan hanya kepada 1 orang faqir saja sebanyak 20 hari.
Waktu Pembayaran Fidyah
Seseorang dapat membayar fidyah, pada hari itu juga ketika dia tidak melaksanakan puasa. Atau diakhirkan sampai hari terakhir bulan Ramadhan, sebagaimana dilakukan oleh sahabat Anas radhiallahu’anhu ketika beliau telah tua.
Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, ia mengatakan, bahwa ia tidak mampu berpuasa pada suatu tahun (selama sebulan), lalu ia membuat satu bejana tsarid (roti yang diremuk dan direndam dalam kuah), kemudian mengundang sebanyak 30 orang miskin, sehingga dia mengenyangkan mereka. (Shahih sanadnya: Irwaul Ghalil IV:21 dan Daruquthni II: 207 no. 16)
Yang tidak boleh dilaksanakan adalah pembayaran fidyah yang dilakukan sebelum Ramadhan. Misalnya: Ada orang yang sakit yang tidak dapat diharapkan lagi kesembuhannya, kemudian ketika bulan Sya’ban telah datang, dia sudah lebih dahulu membayar fidyah. Maka yang seperti ini tidak diperbolehkan. Ia harus menunggu sampai bulan Ramadhan benar-benar telah masuk, barulah ia boleh membayarkan fidyahnya.



QODO SHOLAT ATAU MEMBAYAR FIDYAH BAGI MAYYIT
Top of Form
Seikh As-Sayyid As-Sabiq yang menyatakan :
أجمع العلماء على أن من مات وعليه فوائت من الصلاة فان وليه لا يصلى عنه ولا غيره
Artinya : Para Ulama sudah ijma’ (Konsensus) terhadap yang wapat yang masih ada shalatnya yang tinggal, walinya (kerabatnya) maupun orang lain tidak boleh mengqodhonya.
Pendapat ini tidak benar minimal belum dapat kita terima, sebab ulama ibnu basyar menuqilkan pendapat Imam Syafi’i Rahimahullah ( Qoul qodim) begini :
انه يلزم الولي ان خلف تركة أن تصلي عليه
Artinya : Sesungguhnya wajib bagi siwali mengqodho shalat orang yang meninggal, andainya dia meninggalkan warisan.
Demikian juga boleh mengqodho sholat orang yang meninggal menurut pendapat Imam Syibromalisi, Al-Ibadi, Ishaq, Atha, Ibnu Asyirin , Ibnu Daqiqi Al-Id dan Tajuddin As-Syubky.
Memang diakui, Pendapat yang masyhur dalam Mazhab Syafi’I ” Orang yang meninggal yang masih ada qodhoan shalatnya tidak ada perintah atau suruhan untuk mengqodho atau membayar Fidyah sholat orang tersebut”. Namun perlu kita ketahui banyak ulama berpendapat sangat baik membuatkan Fidyah sholat orang yang meninggal tersebut, diantaranya Imam Al-Qolyuby, Imam Nawawi, Imam Al-bughowy, Imam Ar-Rofi’I dan Imam Algoffal menjelaskan begini :
انه يطعم عن كل صلاة مدا
Artinya : Memberi makan satu mud (675 gr) dari setiap sholat wajib yang ditinggalkan.
Pemikiran beliau-beliau ini dikiaskan atau dianalogikan mereka kepada masalah shoum (puasa) yang nashnya begini :
من مات وعليه صيام صام عنه وليه (متفق عليه)
Barang siapa yang meninggal kemudian baginya meninggalkan puasa,maka berpuasalah walinya untuknya
من مات وعليه صيام شهر فليطعم عنه مكان كل يوم مسكينا (رواه ابن ماجه)
Barang siapa yang meninggal kemudian baginya meninggalkan puasa satu bulan maka hendaklah dia memberi makanan kepada fakir miskin setiap harinya.
Pendapat-pendapat Ulama Syafi’iyah ini sejalan dengan ijtihad Imam Abu Hanifah Rohimahulloh dan menurut As-Syafi’iyah setiap satu sholat wajib Fidyahnya satu mud (675 gr). Sehari semalam 5 x shalat wajib, sedangkan 1 tahun = 360 hari x 5 waktu =1800 x sholat wajib.1 tabung beras (4 kg) = 6 mud.


Bila orang meninggal berusia 45 tahun umpamanya, maka 45 tahun dikurang umur sebelum dewasa 15 tahun = 30 tahun dikurangi lagi ketaatan 15 tahun misalnya, tinggal yang perlu dibayar Fidyahnya 15 tahun lagi.
Kalau beras yang dipersiapkan untuk Fidyah ada 20 tabung, maka cara pelaksanaannya sebagai berikut :
15 tahun x 360 hari x 5 waktu = 27000 waktu.
20 tabung itu = 120 waktu. 27000 waktu : 120 mud = 225 kali.
Selanjutnya faqir A mensedekahkan kepada faqir B 113 kali dan faqir B mensedekahkan kepada Faqir A sebanyak 112 kali jumlahnya = 225 kali.
Dengan demikian selesailah Fidyah orang tersebut.
Imam Abu Hanifah hanya membolehkan dibayar Fidyah sholat orang yang meninggal dengan syarat :
a. Ada wasiat untuk dibuat Fidyah dari orang yang wafat itu
b. Makanan pokok, juga boleh dengan uang seharga 1/2 sha’ (1,9 kg).
c. Sehari semalam dihitung 6 kali sholat wajib dengan witir.
d. Tidak boleh sedekah berputar ( faqir A mensedekahkan kepada faqir B dan faqir B kembali mensedekahkan kepada faqir A dan seterusnya.

Kesimpulannya Imam Abu Hanifah Rahimahulloh tidak membolehkan membayar Fidyah orang yang meninggal tanpa ada wasiat dari orang yang meninggal tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar